Berita ini selalu menjadi pengingat yang sia-sia: Jakarta bakal tenggelam. Hari-hari ini sejumlah pengamat kembali menyatakan bahwa tanah di Jakarta, terutama bagian barat dan utara, setiap tahun ambles 10-12 sentimeter.Artinya, dalam 10 tahun, tanah Jakarta turun sekitar 1 meter. Ada yang meramalkan, pada 2050, Jakarta Utara bakal terhapus dari peta Jakarta. Amblesnya sebagian ruas Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu hanyalah salah satu indikasi yang patut diperhatikan.
Penyebab masalah itu sejatinya sudah terang benderang, yaitu berkurangnya air tanah yang selama ini menyangga tanah di atasnya.Air tanah yang terusmenerus disedot menghasilkan ruang kosong di bawah sana. Penyedotan yang luar biasa itu pada umumnya dilakukan industri besar dan gedung-gedung tinggi (seperti hotel, apartemen, dan perkantoran), yang jumlahnya berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Ruang kosong itu akhirnya tak mampu menahan beban berat di atasnya. Ambles pun terjadi.
Namun setiap kali pula kabar itu seperti hilang ditiup angin. Penyedotan air tanah masih saja terjadi. Padahal penyedotan air bawah tanah dan air permukaan tanah ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001. Sayangnya, peraturan ini hanya mengatur pajak air bawah tanah (20 persen) dan pajak air permukaan tanah (10 persen) sebagai alat untuk membatasi penyedotan air. Dan ternyata para pemilik gedung lebih memilih membayar pajak untuk mendapatkan air bersih.
Akibatnya, daya dukung air di Jakarta terus merosot. Sebetulnya ada mekanisme alamiah yang bisa meningkatkan persediaan air. Para ahli memperkirakan, jika 50 persen saja air hujan di Jakarta meresap ke dalam tanah, hal itu sudah cukup membantu menaikkan cadangan air. Celakanya, penyerapan air hujan di Jakarta hanya 25 persen.Yang jauh lebih besar mengalir ke laut setelah sempat menyebabkan banjir di manamana. Rendahnya penyerapan itu lantaran tanah terbuka di Jakarta sudah makin menciut.
Pembangunan—gedung atau jalan—bisa dibilang makin tak terkontrol. Hutan beton meluas, terutama setelah banyak dibangun kawasan superblok di pusatpusat bisnis Jakarta, seperti di kawasan Sudirman- Thamrin,Kemang,Kuningan, dan sejumlah daerah di Jakarta Barat.Tidak mengherankan jika ruang terbuka di Ibu Kota makin sedikit, hanya 9,6 persen. Padahal idealnya sekitar 30 persen. Dari yang sedikit itu pun jumlahnya kian tergerus. Di Jakarta Pusat saja, misalnya, 49 ruang terbuka hijau telah beralih fungsi.
Tidak hanya di pusat kota. Pantai juga sudah habis dijarah. Sebagai contoh, hutan bakau di Jakarta tinggal 3 kilometer persegi, tak lebih dari 15 persen dibanding pada 1960. Dari laut, Jakarta seperti dibentengi gedung-gedung jangkung. Pemerintah agaknya lebih memfasilitasi kepentingan ekonomi jangka pendek dan hanya menguntungkan sebagian kecil pengusaha. Kepentingan masyarakat banyak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik justru diabaikan. Jika keadaan ini dibiarkan, sebagian Jakarta bakal tinggal jadi catatan sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar